Minggu, 17 April 2011

PERISTIWA-PERISTIWA MULTIKULTURALISME UNIK YANG TERJADI DI PENJURU DUNIA

1.      Arab Saudi
Saat menunaikan ibadah haji, gerombolan jamaah Indonesia yang sedang berjalan-jalan hendak kembali ke penginapan dengan menggunakan bus. Ketika hendak menginjakkan kaki di tangga bus, tiba-tiba sopirnya berteriak, “Haram..Haram..Haram!”. Para jamaah Indonesia pun terkejut mengira bahwa mereka tidak boleh naik. Karena mereka sedang dalam rangkaian ibadah haji, tentunya mereka akan selalu waspada terhadap hal-hal yang dapat membuat ibadah haji mereka menjadi sia-sia, apalagi diteriaki “Haram” oleh sang supir bus, sehingga mereka mengurungkan niatnya untuk menaiki bus tersebut dan memutuskan untuk berjalan kaki sampai ke penginapan mereka. Sesampainya di penginapan, salah seorang rombongan jamaah tadi menceritakan kejadian tersebut kepada jamaah lain yang sudah sering umroh dan naik haji berkali-kali. Kemudian dijelaskan bahwa “Haram” yang dimaksud oleh sang supir bus tersebut adalah ajakan tujuan ke Masjidil Haram layaknya kernet-kernet di terminal bandung yang sering berteriak “caheum..caheum!!” dan bukan sebuah larangan untuk tidak boleh naik bus.
2.      Jepang
Seorang manajer perusahaan telekomunikasi dari Amerika menceritakan ketika perusahaannya memperoleh kontrak untuk pemasangan radio dua arah pada armada ambulans udara Jepang. Mereka mendiskusikannya dengan presiden perusahaan dari Jepang mengenai kapan pemasangan dapat dimulai. Presiden perusahaan Jepang berkata “Saya akan menjamin Anda punya akses saatnya nanti”. Sang Manajer perusahaan Amerika berkata “Apa itu artinya? Apa yang perlu kami tahu adalah kapan?”. Presiden perusahaan Jepang berkata, “Anda akan punya cukup waktu untuk menyelesaikan proyek ini, saya janjikan itu”. Menajer Perusahaan Amerika berkata, “Dapatkah anda member tahu tanggalnya?”. Kemudian Presiden perusahaan Jepang bangkit dari kursinya dan beranjak meninggalkan ruanngan dan tak pernah berbicara kepada sang Manajer Perusahaan Amerika tersebut.
Apa yang dijanjikan presiden perusahaan Jepang tersebut adalah waktu yang disetujui dan sinkronus, yang member waktu cukup untuk menuntaskan pekerjaan. Sedangkan apa yang diminta Manajer perusahaan Amerika adalah interval waktu yang spesifik dan sekuensial. Presiden perusahaan Jepang itu mungkin kekurangan pengetahuan yang rinci mengenai operasi perusahaan, termasuk tanggal waktu, sehingga merasa janji dan garansi pribadinya tidak bias dipercaya. Sedangkan Manajer perusahaan Amerika tidak mempercayai penilaiannya mengenai waktu yang cukup. Akibat hal tersebut terjadi sebuah miss-commnunication yang membuat kedua pihak mearasa tersinggung.
3.      Perancis
Seorang pria Amerika sedang makan siang di salah satu restoran di Perancis. Dia duduk berada disamping seorang pria asal Perancis. Tidak ada tegur sapa sedikit pun karena mereka tidak menguasai bahasa yang sama, namun keduanya salaing senyum. Saat pelayan menyuguhkan minuman anggur, pria Perancis mengangkat gelasnya dan berkata “bon appétit!” yang artinya selamat minum. Pria Amerika tidak memahami ucapan tersebut dan mengira bahwa pria Perancis itu memberitahukan namanya sehingga ia menjawab “Ginzberg”. Saat makan malam, keduanya bertemu kembali dan duduk di meja yang sama. Lagi-lagi pria perancis itu menyapa pria Amerika, “Bon appétit!” seraya mengangkat gelas berisi wine. Pria Amerika menjawab lagi “Ginzberg”. Kemuidian pelayan yang menyuguhkan minuman sebelumnya mengamati keganjilan tersebut, dan usai makan malam, sang pelayan mengajak pria Amerika tersebut untuk berbicara dan menjelaskan bahwa pria Perancis itu bukan memberitahukan namanya, melainkan mengucapkan selamat minum/makan. Hari berikutnya pria Amerika sengaja makan siang bersama Perancis itu lagi agar ia dapat memperbaiki kekeliruannya. Pria Amerika kemudian berinisiatif mengangkat gelas minuman dan berkata “Bon appétit!” yang kemudian dijawab oleh pria Perancis tersebut dengan sedikit sindiran yang bersifat jokes dengan menjawab “Ginzberg” yang merupakan nama dari pria Ameruika tersebut dan merupakan kekeliruan yang pernah pria Amerika ucapakan sebekum-sebelumnya.


4.      Amerika
Seorang professor tamu asal Jerman mengajar di salah satu universitas di Amerika dan selalu menutup pintu ruang kerjanya. Ia heran mengapa hanya sedikit mahasiswa Amerika yang berkonsultasi dengannya. Ia berpikir bahwa kolega-koleganya lebih popular darinya sehingga ia kurang mendapat antusiasme dari para mahasiswa Amerika disana. Kemudian pada suatu hari, ia pun sangat geram ketika menemukan bahwa mahasiswa-mahasiswa menempelkan kertas bertuliskan “Awas anjing!” pada pintu dan jendela ruang kerjanya yang selalu tertutup. Ternyata justru hal tersebutlah yang menjadi faktor mengapa ia dijauhi oleh para mahasiswa Amerika disana. Hal tersebut dikarenakan di Amerika apabila pintu kantor tertutup berarti menandakan ketidakramahan dan menyembunyikan sesuatu, sehingga para mahasiswa disana pun menafsirkan hal tersebut terhadap kebiasaan professor dari Jerman yang mempunyai kebiasaan menutup jendela kantornya. Padahal di Jerman pintu atau jendela tertutup hanyalah menandakan bahwa seseorang mempunyai privasi atas apa yang dimilikinya.
5.      Meksiko
Dalam suatu pertemuan professional di sebuah hotel di Mexico City, seorang dokter perempuan asal meksiko meminta waktu pergi ke kamarnya untuk mengambil makalah yang tertinggal. Kemuadian seorang dokter Amerika menjawab dengan member isyarat “OK” ala Amerika (dengan membentuk lingkaran natara ibu jari dan telunjukm, sementara ketiga jari lainnya berdiri). Tak ayal isyarat tersebut membuat dokter perempuan asal meksiko tersinggung dan sangat marah besar terhadap dokter Amerika yang member isyarat tersebut, karena di Meksiko isyarat tersebut sangat jorok dan menghina (di Meksiko isyarat tersebut mengartikan -maaf- lubang pantat)

FINLANDIA SEBAGAI NEGARA DENGAN PERSENTASE TENAGA KERJA PEREMPUAN TERBESAR DI DUNIA

Pada abad pertengahan Gereja dan raja Swedia (yang kemudian memerintah atas Finlandia juga) bersatu kekuatan di dalam struktur kekuasaan kelompok kekerabatan dalam rangka untuk meningkatkan kekuatan mereka sendiri atas kehidupan masyarakat. Salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan cara memperpanjang hak-hak perempuan. Pada tahun 1260 perempuan diberi hak untuk mewarisi, meskipun tidak sebanyak ahli waris laki-laki. Pada tahun 1350, janda pertama kali diberi hak untuk memutuskan tentang pernikahan mereka sendiri di kota dan di 1442 di pedesaan. Kemudian pada tahun 1860, semua perempuan lainnya juga mendapatkan hak tersebut. Perubahan ini sebagian besar disebabkan oleh pengaruh gereja, berdasarkan motif awal dimana perempuan yang cukup hanya melayani diri sendiri dan sering bertentangan dengan kepentingan perempuan apda hakikatnya. Oleh karena itu, Gereja sangat mendukung kekuatan laki-laki dan perempuan yang setara dalam keluarga (Mustakallio 1988: 13-16).
Emansipasi wanita di Finlandia berakar dari kebangkitan nasionalisme di akhir abad 19. Menjadi bagian otonom dari kerajaan Rusia, Finlandia menjadi sasaran politik yang menindas gerakan nasionalis Finlandia berangkat untuk menentang; waralaba sama merupakan salah satu tujuan dari perjuangan politik. Seperti di Denmark, Finlandia telah melihat dua tahap dalam gerakan perempuan. Tahap kedua muncul dengan struktur sosial baru dalam proses urbanisasi di 1960-an dan 1970-an.
Gerakan feminisme Finlandia pada akhir abad 19 dipromosikan oleh perempuan kelas atas dan terhubung dengan penciptaan masyarakat sipil. Tujuan utama dari feminisme awalnya adalah untuk mendapatkan persamaan hak dan tanggung jawab baik untuk perempuan dan laki-laki. Hak pendidikan menjadi salah satu masalah yang paling topikal bagi kaum perempuan pada saat itu. Perempuan kelas bawah diizinkan untuk mempelajari ilmu pendidikan guru sejak tahun 1863 dan untuk mengambil ujian matrikulasi harus dengan izin khusus. Namun, pilihan ini terbuka bagi gadis-gadis kelas atas saja, sedangkan perempuan kelas pekerja biasanya tidak mengikuti pendidikan lanjutan karena alasan ekonomi. Gagasan pendidikan untuk kedua anak laki-laki dan perempuan dipandang sebagai syarat untuk kesetaraan gender dan peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak sampai tahun-tahun awal kemerdekaan Finlandia (1919-1921) ketika pendidikan umum dan bebas dilembagakan di Finlandia. Setelah itu, barulah kemudian pelatihan kejuruan dan lembaga pendidikan yang memutuskan untuk dibiayai oleh negara untuk menjamin kesempatan pendidikan yang sama bagi semua golongan masyarakat Finlandia.
Setelah Perang Dunia II, lebih banyak perempuan mulai memasuki pergurun tinggi ketika universitas-universitas baru didirikan dan tingkat kerja berbasis pertanian menurun di Finlandia. Bagian mahasiswa tingkat perempuan meningkat pesat mengakibatkan jumlah mahasiswa perempuan yang terdapat di Finlandia lebih dari 50% dari mahasiswa seluruh Finlandia pada pertengahan tahun 1960-an.
 Pada tingkat undang-undang, inovasi lebih lanjut untuk meningkatkan kesetaraan gender terjadi pada tahun 1970-an. Perbuatan aborsi disahkan pada tahun 1970, dan kemudian Dewan Kesetaraan Gender didirikan pada tahun 1972 untuk memantau dan kesetaraan gender secara lebih lanjut di Finlandia. Pada titik ini, wanita dianggap sama-sama berhak atas pendidikan, membayar, serta bekerja seperti laki-laki. Selain itu, tanggung jawab perawatan dipandang sebagai tanggung jawab kedua orang tua. Selang beberapa tahun berjalan, Di sektor publik, perempuan mencapai posisi teratas selama beberapa tahun pada era decade tahun 1990-an.
Pada saat ini, wanita Finlandia umumnya berpendidikan lebih baik daripada rekan-rekan pria mereka. Pada tahun 2003, 77% dari jumlah perempuan perempuan Finlandia dan 74% dari laki-laki Finlandia (usia 25-64 tahun) memiliki kualifikasi sekurang-kurangnya pendidikan atas sekunder (ISCED 3). Kemudian pada tahun 2004, 39% dari karyawan wanita dan 31% dari karyawan pria memiliki pendidikan tersier (ISCED 5-6). Hal ini menunjukan bahwa perkembangan sumber daya manusia wanita di Finlandia telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan semenjak emansipasi wanita yang terjadi di Negara tersebut. Bahkan kualitas sumber daya manusia perempuan di Finlandia telah melampaui laki-laki yang di Negara lain pada umumnya selalu satu tingkat diatas perempuan.
Dapat dihitung pada saat ini 70% dari jumlah perempuan di Finlandia telah berpartisipasi dalam kehidupan kerja. Untuk kaum perempuan Finlandia, perubahan dalam kehidupan kerja berarti di atas segalanya, yang akan dapat meningkatkan tekanan dan ketegangan. Meskipun upaya-upaya luas perempuan di masa lalu untuk memperbaiki posisi mereka dalam sebuah kesetaraan masih belum menjadi realita (Kinnunen & Korvajärvi 1996: 71).
Berikut ini merupakan beberapa faktor yang mendorong jumlah tenaga kerja perempuan melonjak ketimbang tenaga kerja pria di Finlandia:
1.      Kepuasan Pembayaran, penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung merasa lebih puas akan gaji yang didapat ketimbang dengan laki-laki, meskipun gaji mereka biasanya lebih rendah. Perempuan yang bekerja di tempat yang didominasi oleh kaum perempuan cenderung lebih puas dengan gaji yang mereka terima daripada perempuan produktif yang bekerja di tempat yang mayoritas didominasi oleh laki-laki (Haavio-Mannila 1991: 335).
2.      Tingkat Pendidikan, pada saat ini perempuan Finlandia umumnya berpendidikan lebih baik daripada rekan-rekan pria mereka. Pada tahun 2003, 77% dari jumlah perempuan perempuan Finlandia dan 74% dari laki-laki Finlandia (usia 25-64 tahun) memiliki kualifikasi sekurang-kurangnya pendidikan atas sekunder (ISCED 3). Kemudian pada tahun 2004, 39% dari karyawan wanita dan 31% dari karyawan pria memiliki pendidikan tersier (ISCED 5-6).
3.      Keluarga dan Pekerjaan, Persentase jumlah menunjukkan bahwa perempuan di Finlandia yang secara tradisional pergi untuk bekerja di luar rumah melebihi para kaum perempuan di negara-negara barat lainnya. Peran pencari nafkah keluarga belum pernah jatuh begitu eksklusif pada pria di Finlandia. Perempuan masih melakukan pekerjaan rumah tangga lebih dari laki-laki dan memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk memadukan dengan baik antara pekerjaan diluar dan didalam rumah dalam kehidupan mereka. Hal ini dapat dimengerti, karena biasanya perempuan yang melakukan sebagian terbesar dari pekerjaan rumah tangga. Sebagian besar perempuan menurut penelititan ternyata sangat pandai menyeimbangkan pekerjaan rumah tangga dengan pekerjaan kantor sehingga timbul suatu keseimbangan dalam hidup (Haavio-Mannila 1991: 295-296).