Senin, 28 Maret 2011

Corporate Social Responsibility (CSR) Menurut Perspektif Sosiologi

Semenjak keruntuhan rezim Orde Baru, masyarakat semakin berani untuk beraspirasi dan mengekspresikan tuntutannya terhadap perkembangan dunia bisnis Indonesia. Masyarakat telah semakin kritis dan mampu melakukan kontrol sosial (social control) terhadap dunia usaha. Hal ini menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya dengan semakin bertanggung  jawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk memperoleh keuntungan (profit) dari lapangan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan sosialnya. Perubahan pada tingkat kesadaran masyarakat memunculkan kesadararan baru tentang pentingnya melaksanakan apa yang kita kenal sebagai Corporate Social Responsibility (CSR). Pemahaman itu memberikan pedoman bahwa korporasi bukan lagi sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja sehingga ter-alienasi atau mengasingkan diri dari lingkungan masyarakat di tempat mereka bekerja, melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya. CSR adalah basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun hubungan harmonis dengan masyarakat.
Secara teoretik, CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para strategic stakeholders-nya, terutama komunitas atau masyarakat di sekitar wilayah kerja dan operasinya. CSR memandang perusahaan sebagai agen moral. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR adalah mengedepankan prinsip moral dan etis (moral and etics), yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah goldenrules, yang mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat. Schermerhorn memberi definisi CSR sebagai suatu kepedulian organisasi bisnis untuk bertindak dengan cara-cara mereka sendiri dalam melayani kepentingan organisasi dan kepentingan publik eksternal. CSR adalah sebuah pendekatan dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan (stakeholder) berdasarkan prinsip kesukarelaan dan kemitraan. Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan atau bahkan sering diidentikkan dengan CSR ini antara lain Pemberian/Amal Perusahaan (Corporate Giving/ Charity), Kedermawanan Perusahaan (Corporate Philanthropy). Relasi Kemasyarakatan Perusahaan (Corporate Community/Public Relations), dan Pengembangan Masyarakat (Community Development). Keempat nama itu bisa pula dilihat sebagai dimensi atau pendekatan CSR dalam konteks Investasi Sosial Perusahaan (Corporate Social Investment/Investing) yang didorong oleh spektrum motif yang terentang dari motif “amal” hingga “pemberdayaan”. Karenanya, mereka tidak boleh hanya memikirkan keuntungan financial bagi perusahaannya saja. Melainkan pula harus memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap publik, khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan. Pendapat ini dilandasi atas dasar :
  1. Masyarakat adalah sumber dari segala sumber daya yang dimiliki dan direproduksi oleh perusahaan. Bukanlah tanpa masyarakat perusahaan bukan saja tidak akan berarti, melain¬kan pula tidak akan berfungsi? Tanpa dukungan masyarakat, perusahaan mustahil memiliki pelanggan, pegawai dan sumber-sumber produksi lainnya yang bermanfaat bagi perusahaan.
  2. Meskipun perusahaan telah membayar pajak kepada negara tidak berarti telah menghilangkan tanggungjawab terhadap kesejahteraan publik. Di negara yang kurang memperhatikan kebijakan sosial (social policy) atau kebijakan kesejahteraan (welfare policy) yang menjamin warganya dengan berbagai pelayanan dan skema jaminan sosial yang merata, manfaat pajak seringkali tidak sampai kepada masyarakat, terutama kelompok miskin dan rentan yang tidak memiliki posisi tawar yang kuat.
Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh sebuah perusahaan sesuai dengan isi pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT) No. 40 Tahun 2007 yang baru. Undang-Undang ini disahkan dalam sidang paripurna DPR pada tanggal 16 Agustus 2007. Bunyi lengkap dari Pasal 74 tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/ atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
  2. Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban perseorangan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
  3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dengan adanya Undang-Undang ini, industri atau korporasi-korporasi wajib untuk melaksanakan program-program CSR tersebut. Tetapi kewajiban ini bukanlah merupakan suatu beban yang memberatkan bagi perusahaan, perlu diingat pembangunan suatu negara bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan industri saja, tetapi merupakan tanggung jawab setiap insan manusia untuk berperan mewujudkan kesejahteraan sosial dan pengelolaan kualitas hidup masyarakat. Industri dan korporasi hanya berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat dengan mempertimbangkan pula faktor lingkungan hidup.
Istilah CSR pertama kali menyeruak dalam tulisan Social Responsibility of the Businessman tahun 1953. konsep yang digagas Howard Rothmann Browen ini menjawab keresahan dunia bisnis. Konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah dikenal sejak awal 1970, yang secara umum diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat, lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan. Corporate Social Responsibility (CSR) tidak hanya merupakan kegiatan kreatif perusahaan dan tidak terbatas hanya pada pemenuhan aturan hukum semata.  Belakangan kegiatan CSR segera diadopsi, karena bisa menjadi penawar kesan buruk perusahaan yang terlanjur dalam pikiran masyarakat. Dan lebih dari itu, CSR dapat menghindari image buruk pengusaha yang kerap di cap sebagai pemburu uang yang tidak peduli pada dampak kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Kendati sederhana, istilah CSR amat marketable. Melalui CSR pengusaha tidak perlu diganggu dan dihantui oleh perasaan bersalah.
Konsep CSR juga dilandasi oleh argumentasi moral. Tidak ada satu perusahaan pun yang hidup di dalam suatu ruang hampa dan hidup terisolasi. Perusahaan hidup di dalam dan bersama suatu lingkungan. Perusahaan dapat hidup dan dapat tumbuh berkat masyarakat di mana perusahaan itu hidup.
           Konsep Piramida CSR yang dikembangkan Archie B. Carrol yang memberikan justifikasi teoritis dan logis mengapa sebuah perusahaan perlu menerapkan CSR bagi masyarakat di sekitarnya. Dalam pandangan Carrol, CSR adalah puncak piramida yang erat terkait, dan bahkan identik dengan, tanggung jawab filantropis.
  1. Tanggung jawab Ekonomis.
Kata kuncinya adalah : make a profit. Motif utama perusahaan adalah menghasilkan laba. Laba adalah pondasi perusahaan. Perusahaan harus memiliki nilai tambah ekonomi sebagai prasyarat agar perusahaan dapat terus hidup (survive) dan berkembang.


  1. Tanggung jawab Legal.
Kata kuncinya: obey the law. Perusahaan harus taat hukum. Dalam proses mencari laba, perusahaan tidak boleh melanggar kebijakan dan hukum yang telah ditetapkan pemerintah.
  1. Tanggung jawab Etis.
Kata kuncinya : be ethical. Perusahaan memiliki kewajiban untuk menjalankan praktek bisnis yang baik, adil dan fair. Norma-norma masyarakat perlu menjadi rujukan bagi perilaku organisasi perusahaan.
  1. Tanggung jawab Filantropis.
Kata kuncinya : be a good citizen. Selain perusahaan harus memperoleh laba, taat hukum dan berperilaku etis, perusahaan dituntut agar dapat memberi kontribusi yang dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas kehidupan semua. Para pemilik dan pegawai yang bekerja di perusahaan memiliki tanggung jawab ganda, yakni kepada perusahaan dan kepada publik yang kini dikenal dengan istilah non-fiduciary responsibility.
Perusahaan tidak akan berfungsi secara terpisah dari masyarakat sekitarnya. Faktanya, kemampuan perusahaan untuk bersaing sangat tergantung pada keadaan lokasi dimana perusahaan itu beroperasi. Oleh karena itu, Konsep Piramida CSR yang dikembangkan Archie B. Carrol harus dipahami sebagai satu kesatuan. Sebab CSR merupakan kepedulian perusahaan yang didasari tiga prinsip dasar yang dikenal dengan istilah Triple Bottom Lines. Kini dunia usaha tidak lagi hanya memperhatikan catatan keuangan perusahaan semata (single bottom line), melainkan sudah meliputi keuangan, sosial, dan aspek lingkungan yang biasa disebut Triple Bottom Line.
  1. Profit
Perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang.

  1. People
Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia. Beberapa perusahaan mengembangkan program CSR seperti pemberian beasiswa bagi pelajar sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan, penguatan kapasitas ekonomi lokal, dan bahkan ada perusahaan yang merancang berbagai skema perlindungan sosial bagi warga setempat.
  1. Planet
Perusahaan peduli terhadap lingkungan hayati. Beberapa program CSR yang berpijak pada prinsip ini biasanya berupa penghijauan hidup lingkungan hidup, penyediaan sarana pengembangan pariwisata (ekoturisme).
           Sinergi tiga elemen ini merupakan kunci dari konsep pembangunan yang berkelanjutan. Istilah Triple Bottom Line dipopulerkan oleh John Elkington pada tahun 1997 melalui bukunya “Cannibals with Forks, The Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”. Elkington mengembangkan konsep Tripple Bottom Line dalam istilah economic prosperity, environmental quality dan social justice. Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).

Berbagai kegiatan CSR yang berlangsung selama ini memberikan gambaran kepada kita mengenai pola model CSR perusahaan. Secara umum ada empat pola atau model CSR yang dapat dilakukan oleh sebuah perusahaan. Keempat model tersebut adalah:
  1. Keterlibatan langsung.
Perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa perantara. Untuk menjalankan tugas ini, sebuah perusahaan biasanya menugaskan salah satu pejabat seniornya, seperti corporate secretary atau public affair manager atau menjadi bagian dan tugas pejabat public relation. Mereka inilah, dengan dengan dibantu oleh staf lain yang menjalankan berbagai aktivitas CSR. Fenomena terbaru adalah dibentuknya kelompok atau kepanitiaan dengan nama ”Peduli” di beberapa perusahaan untuk melakukan kegiatan sosial tersebut.
  1. Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan.
Perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau groupnya. Model ini merupakan adopsi dari model yang lazim diterapkan di perusahaan-perusahaan di negara maju. Biasanya, perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan. Selain mendirikan yayasan, beberapa perusahan di Indonesia mulai mengadopsi pelibatan karyawan dalam kegiatan sosial. Perusahaan-perusahaan itu mulai mendorong organisasi karyawan dan pensiunan untuk aktif dalam kegiatan sosial. Mereka juga memberikan ijin untuk bagi karyawannya untuk memakai sebagian waktu kerjanya untuk memakai sebagian waktu kerjanya untuk kegiatan sosial.
  1. Bermitra dengan pihak lain.
Perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga sosial/organisasi non-pemerintah (Ornop), instansi pemerintah, universitas atau media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya. Lewat kerja sama ini semacam ini perusahaan tidak terlalu banyak disibukkan oleh program tersebut dan kegiatan yang dilakukan diharapkan dapat lebih optimal karena ditangani oleh pihak yang lebih kompeten.
  1. Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium.
Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Dibandingkan dengan model lainnya, pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah perusahaan yang bersifat “hibah pembangunan”. Pihak konsorsium atau lembaga semacam itu yang dipercayai oleh perusahaan-perusahaan yang mendukungnya secara pro aktif mencari mitra kerjasama dan kalangan lembaga operasional dan kemudian mengembangkan program yang disepakati bersama.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar