Senin, 28 Maret 2011

FILSAFAT ILMU: Manusia berkemampuan mengetahui dan nalar yang didukung dunia rasio dan rasa

Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai macam kelebihan. Sebagai mahkluk yang paling unggul diantara ciptaan-ciptaan Tuhan yang lainnya, manusia dibekali dengan akal dan pikiran yang berguna sebagai alat unuk berpikir untuk mengetahui dan nalar. Sebagian besar dari seluruh manusia yang hidup di dunia ini memandang bahwa nalar adalah sebuah instrumen yang mampu membawa setiap individu dari mereka kepada kebajikan. Kaidah-kaidah nalar bisa termasuk ke dalam bidang filsafat dan psikologi. Dalam bidang filsafat, nalar diidentikkan dengan rasionalitas. Bahkan, nalar bisa saja berarti rasionalitas. Dalam bidang psikologi, nalar identik dengan neurologi. Dengan demikian dalam istilah neurologi, sebagian besar proses nalar terjadi di dalam modul otak depan (frontal module). Disebut modul karena ia merupakan gugus sel saraf yang saling terkait, yang lebih-kurang bersifat otonom, dan yang melaksanakan jenis tugas tertentu.
Nalar bisa saja berfungsi sebagai proses yang cermat dan menyeluruh dalam mempertimbangkan segala segi guna menyelesaikan masalah. Begitu masalah telah dipecahkan, pemecahan itu dapat disimpan di dalam ingatan sehingga kita bisa memakai lagi untuk masalah yang serupa bila perlu, tanpa harus mengulang kembali proses nalarnya. Jadi nalar merupakan sarana untuk meningkatkan kemampuan kita bertahan hidup (survival) di dalam lingkungan yang penuh tantangan. Nalar lebih merupakan fasilitator daripada inisiator; manusia menggunakan nalar untuk mendapatkan apa yang ia mau, bukan untuk menentukan apa yang ia mau. Yang menentukan dan mendorong kita untuk mencari makanan bila kita lapar, dan jika makanan langka maka nalar digunakan sebagai sarana untuk menemukan atau menghasilkan makanan. Maka, nalar memiliki aspek lain yang penting. Ia berhasil membantu kita untuk mendapatkan apa yang kita mau, dan inilah ciri pokok yang membedakan nalar dari tak-nalar. Dan, perkembangan nalar cenderung serupa dengan perkembangan bahasa. Keduanya mestilah bermula dari unsur-unsur sederhana yang lambat laun makin kompleks - nalar merajut argumen dan tatabahasa merajut kalimat.
            Agar kemampuan manusia di dalam mengetahui dan nalar tersebut tetap berada dalam koridor yang tepat dan benar, maka dibutuhkan rasio dan rasa. Rasio (dengan istilah akal), memiliki kemampuan membedakan, menggolongkan, menyatakan secara kualitatif dan kuantitatif, menyatakan hubungan sebab-akibat serta mereduksinya. Dalam bentuk kalimat lain, rasio memiliki kemampuan kognitif yaitu kemampuan untuk mengetahui dan mengingat apa yang diketahui. Semua kemampuan tersebut berdasarkan atas patokan-patokan yang terperinci. Ilmu rasio sering disebut sebagai ilmu nomotetikal yang berlandaskan hukum sebab akibat (kausalitas). Dalam nomotetikal, segala sesuatu yang berwujud pasti ada penyebabnya: Kausalitas pada hakikatnya adalah ketetapan Tuhan tentang keperilakuan jagat raya dan keperilakuan manusia.
            Sedangkan rasa (dengan istilah kalbu), memiliki kemampuan dalam hal kreativitas yang merupakan kegaiban. Kreativitas inilah yang merupakan intuisi bagi segala bidang nalar, ilmu, etika, dan estetika. Rasa memiliki kemampuan afektif, yaitu kemampuan untuk merasakan apa yang diketahui oleh akal. Pada dasarnya, rasa tidak memilik patokan, bersifat polar dan bekerja diantara cinta dan benci, indah dan buruk, keagungan dan kelemahan. Rasa murni akan menjadi media kontak antara manusia dan Tuhan. Rasa dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu:
a.       Rasa biasa (dimiliki oleh semua manusi yang normal)
b.      Rasa hati nurani (muncul saat harus mengambil keputusan)
c.       Rasa yang disucikan (pendekatan diri kepada Tuhan)
Rasio (akal) dan rasa merupakan dua daya rohani manusia yang mengambil tempat berbeda dalam perwujudannya (cara kerjanya). Akal berpusat di kepala sedang rasa berpusat di dada. Tetapi antara rasio dengan rasa sesungguhnya terdapat kaitan yang sangat erat, karena keduanya memang bersumber dari substansi yang sama. kalau bisa dikatakan bahwa akal dan rasa itu sesungguhnya bersaudara kembar yang mempunyai hubungan erat tetapi dapat berjalan dan bekerja sendiri-sendiri karena antara keduanya tidak diusahakan menghubungkannya. Bilamana akal dilepaskan bekerja sendiri tanpa dikaitkan dengan rasa maka ia akan melaju dengan sangat cepat. Rasa sebenarnya dapat berfungsi untuk mengendalikan keputusan-keputusan akal agar berjalan di atas nilai-nilai moral seperti kebaikan dan keburukan. Karena yang dapat menentukan tentang “baik” dan “buruk” justru adalah rasa, yang biasa disebut rasa etik atau dhamir (kata hati).
            Kesimpulannya adalah bahwa kemampuan manusia di dalam penalaran dan mengetahui sesuatu harus diiringi rasio sebagai akal mengetahui dan memisahkan antara yang benar dan yang salah, kemudian dipadukan dengan rasa untuk mengambil keputusan dalam proses mengetahui dan penalaran sesuatu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar